Sabtu, 12 September 2015

Penjelasan tentang Puasa menurut Agama Islam.

Assalamu'alaikum wr wb.
Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Berpuasa  merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Puasa secara bahasa artinya menahan atau mencegah.
Puasa itu ada yang hukumnya wajib dan ada juga yang hukumnya sunnah. Meskipun pada dasarnya perintah puasa itu wajib seperti Firman Allah dalam QA. Al Baqarah ayat 183. Yang artinya:
"Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa."

Puasa wajib.
Puasa yang hukumnya wajib adalah puasa yang harus dikerjakan dan akan mendapatkan pahala, kemudian jika tidak dikerjakan akan mendapatkan dosa. Pusa wajib adalah sebagai berikut:

1. Puasa Ramadhan adalah puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan selama satu bulan lamanya menjalankan puasa tersebut.
2. Puasa Qadla adalah puasa pengganti Ramadhan yang ditinggalkan
3. Puasa Nadzar adalah puasa yang harus dilakukan karena janji/nadzar tentang kebaikan
4. Puasa Kifarat adalah puasa yang dilakukan karena melanggar larangan agama islam.

Puasa Sunnah
Selain puasa wajib terdapat juga puasa sunnah antara lain yaitu:
1. Puasa enam hari pada bulan syawal dan pahalanya sama dengan puasa sepanjang masa
2. Puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah kecuali orang melakukan ibadah haji. Puasa ini akan menghilangkan dosa selama dua tahun.
3. Puasa hari Senin dan Kamis.

Syarat Wajib Berpuasa

Berakal sehat, orang yang gila tidak diwajibkan
Kuat berpuasa, bagi orang yang tidak kuat karena lanjut usia atau sakit, tidak diwajibkan untuk berpuasa. Cukup dengan membayar fidyah.
Baligh/dewasa, anak anak tidak wajib untuk berpuasa.

Syarat Syah Puasa

Beragama Islam
Suci dari haid dan nifas
Mumayiz atau mengerti membedakan antara mana yang baik dan mana yang buruk
Dalam waktu yang ditentukan atau diperbolehkan dalam berpuasa.

Rukun Puasa

Niat pada malam hari
Menahan dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari (maghrib)

Yang membatalkan Puasa

1. Makan dan minum dengan di sengaja
2. Muntah dengan sengaja
3. Bersetubuh pada siang hari
4. Keluar darah (haid dan nifas)
5. Hilang akal
6. Keluar mani dengan sengaja
7. membatalkan atau menggugurkan niat puasa

Orang yang diperbolehkan Berbuka (Meninggalkan Puasa) dan Tata cara menggantinya.

1. Orang yang sedang sakit dengan cara mengganti di lain hari atau mengqadla
2. Orang yang sedang dalam perjalanan jauh atau musafir, cara menggantinya dengan cara mengqadla
3. Orang yang sudah tua dan tidak kuat berpuasa lagi, mereka harus membayarnya dengan fidyah.
4. Orang yang sedang hamil dan menyusui cara menggantinya dengan cara mengqadla, bila yang diberatkan anak dan orang tuanya, tapi bila yang diberatkan anaknya saja menurut sebagian ulama' wajib membayar qadla dan membayar fidyah.
5. Pekerja berat, dimana dia tidak mempunyai sumber pendapatan lain kecuali pekerjaan itu dalam hal ini orang tersebut harus membayar fidyah.

Hikmah dari ibadah puasa itu sendiri adalah melatih manusia untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah gigih dan ulet seperti yang dimaksud dalam Ali ‘Imran/3: 146. Di antara hikmah dan faedah puasa selain untuk menjadi orang yang bertakwa adalah sebagai berikut:

Pendidikan/latihan rohani,
Mendidik jiwa agar dapat menguasai diri,
Mendidik nafsu agar tidak senantiasa dimanjakan dan dituruti,
Mendidik jiwa untuk dapat memegang amanat dengan sebaik-baiknya,
Mendidik kesabaran dan ketabahan

Fungsi Puasa Dalam Kehidupan

1. Sebagai tanda syukur atas nikmat Allah
2. Melatih hidup disiplin, jujur, dan sabar.
3. Sebagai pengendali hawa nafsu dari perbuatan tercela
4. Melatih kepekaan sosial


GOLONGAN YANG BOLEH BERPUASA DAN BOLEH TIDAK BERPUASA

Pertama: Orang sakit

Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang memiliki penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.

Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia mengqodho’nya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Untuk orang sakit ada tiga kondisi:

Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.

Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.

Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)

Kedua: Orang yang bersafar

Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat disyari’atkan untuk tidak berpuasa.

Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.

Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.

Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.

Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115). Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.

Dari Abu Darda’, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122) Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” (HR. Muslim no. 1114). Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.

Ketiga: Orang yang Sudah Tua dan Dalam Keadaan Lemah, Juga Orang Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho bagi mereka. Dan menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, maka dia disamakan dengan orang tua yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).

Cara menunaikan fidyah

Adapun ukuran fidyah adalah setengah sho’ kurma, gandum atau beras sebagaimana yang biasa dimakan oleh keluarganya , Sedangkan ukuran satu sho’ adalah sekitar 2,5 atau 3 kg. Jika kita ambil satu sho’ adalah 3 kg (untuk kehati-hatian) berarti ukuran fidyah adalah sekitar 1,5 kg. Cara menunaikannya adalah:

Pertama, memberi makanan pokok tadi kepada orang miskin. Misalnya memiliki utang puasa selama 7 hari. Maka caranya adalah tujuh orang miskin masing-masing diberi 1,5 kg beras.

Kedua, membuat suatu hidangan makanan seukuran fidyah yang menjadi tanggungannya. Setelah itu orang-orang miskin diundang dan diberi makan hingga kenyang. Misalnya memiliki 10 hari utang puasa. Maka caranya adalah sepuluh orang miskin diundang dan diberi makanan hingga kenyang. Bahkan lebih bagus lagi jika ditambahkan daging, dll. (Penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majelis Syahri Ramadhan dan beberapa fatwa beliau)

Keempat: Wanita Hamil dan Wanita Menyusui

Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Namun apakah mereka memiliki kewajiban qodho ‘ ataukah fidyah? Dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)

Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat keduanya. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. Wallahu a’lam.

Dengan rajin beribadah puasa, manusia bisa terhindar dari segala macam penyakit hati, seperti sombong, kikir, iri hati, dendam, dan sebagainya. Hati kita akan tentram dan damai, apabila kita bisa mengendalikan diri kita. Semoga Penjelasan puasa tersebut dapat bermanfaat dan menambah keimanan dan ketakwaan Kita., 

0 komentar:

Posting Komentar