Assalamu'alaikum wr wb,.
Ikhlas dalam Beribadah
Keikhlasan adalah hal yang paling pokok dalam amal ibadah
kita. Bahkan, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amalan di sisi
Allah ta’ala. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah
dengan mengikhlaskan agama untukNya.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Tidaklah satu amalan kecuali diiringi dengan keinginan dan
niat yang niat ini wajib kita murnikan untuk Allah ta’ala semata. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan tergantung
niatnya, dan (balasan) bagi tiap – tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan.”
(HR. Bukhori nomor 1, Muslim nomor 155 & 1907)
Niat adalah perkara yang dapat membedakan antara amalan
ibadah dengan kebiasaan. Contoh, seseorang mandi dengan niatan hanya untuk
membuat tubuhnya segar, maka ini dianggap sebagai amalan kebiasaan. Berbeda
halnya dengan orang yang mandi wajib dengan niatan ibadah dikarenakan dia
junub, maka ini termasuk amalan ibadah. Oleh karena itu, seandainya seseorang
mandi karena junub, kemudian dia mandi hanya dengan niatan menyegarkan tubuhnya
maka mandi wajibnya tidak sah dan dia harus mengulangi mandinya dengan niatan
ibadah untuk mengangkat hadats.
Dengan niat pula dapat dibedakan ibadah satu dengan ibadah
yang lainnya. Sebagai contoh, ada dua orang yang sedang melaksanakan shalat dua
rakaat. Keduanya berbeda. Yang satu melaksanakan shalat sunnah dan lainnya
shalat wajib, maka dengan niatlah dibedakan dua amalan ibadah mereka, walaupun
tata caranya sama.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim hendaklah kita
senantiasa berusaha untuk mengikhlaskan segala amalan ibadah karena Allah
ta’ala, mengharapkan ridhoNya, dan kehidupan akhirat, sehingga apa-apa yang kita
lakukan dari amalan ibadah tersebut diterima oleh Allah ta’ala yang akan
memberatkan timbangan amalan dan pahala di sisiNya.
Keikhlasan menjadi ukuran (barometer) akan nilai besar
kecilnya amalan yang kita lakukan. Seseorang yang shalat dengan penuh kekhusyukan,
memerhatikan kesempurnaan shalat dari hal-hal yang wajib atau sunnah-nya, takut
dengan azab Allah ta’ala, dan mengharapkan rahmatNya. Tentunya, ibadah ini akan
bernilai sangat besar di sisi Allah ta’ala. Berbeda dengan orang yang
melaksanakan shalat yang meski dilaksanakan dengan penuh kehusyukan,
memerhatikan kesempurnaan shalat, tetapi ia melakukannya agar dilihat orang
lain atau menginginkan sanjungan orang lain atau takut pada seseorang, sehingga
amalan seperti ini akan sia-sia dan tidak bernilai disisi Allah ta’ala sedikit
pun. Bahkan amalan ini akan mendatangkan azab bagi pelakunya, sebagaimana hal
ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya. manusia yang pertama kali dihisab pada hari
kiamat adalah orang yang mati syahid. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan,
sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Lantas Allah bertanya, ‘Apa yang telah
kamu lakukan di dunia wahai hambaKu?’. Ia menjawab, ‘Saya berjuang dan
berperang demi Engkau, ya Allah, sehingga saya mati syahid.’ Allah berkata,
‘Dusta kamu! Sebenarnya kamu berperang bukan karenaKu, melainkan agar kamu
disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’
Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam
Neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al Qur’an dan
mengajarkannya. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia
mengetahuinya dengan jelas. Allah ta’ala bertanya, ‘Apa yang telah kamu
perbuat?’. Ia menjawab, ‘Saya telah mempelajari ilmu dan mengajarkannya. Saya
juga membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah ta’ala berkata, ‘Kamu dusta! Akan
tetapi, kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an agar
dikatakan seorang yang mahir dalam membaca dan kini kamu telah dikatakan
seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan
dilemparkan ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seorang laki-laki yang diberi
keluasan rejeki oleh Allah. Lalu, ia menginfakkan hartanya semua. Setelah itu,
diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.
Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’. Ia menjawab, ‘Saya
tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut
dijalan yang Engkau ridhoi.’ Allah berkata, ‘Dusta kamu! Akan tetapi, kamu
melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu
telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia
dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Wahai kaum muslimin jangan sampai kita menjadi seperti
orang-orang yang Allah ta’ala gambarkan dalam Al Quran Al Karim,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ O وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ O عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ O تَصْلَى نَاراً حَامِيَةً O
“Sudah datangkah kepadamu (berita) hari pembalasan? Banyak
muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api
yang sangat panas (neraka).” (QS. Al Ghasyiyah: 1 – 4)
Dalam ayat yang lain,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً
O الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً O
“Katakanlah, apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi 103-104)
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita semua
untuk terus berada di atas keikhlasan dalam seluruh amalan ibadah dan istiqomah
di atasnya. Serta kita memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari segala bentuk
kesyirikan kepada Allah ta’ala seperti riya’ (ingin dilihat orang lain) dan
sum’ah (ingin di dengar orang lain).
Dialah Allah yang maha pemberi taufik dan maha berkuasa atas
segala sesuatu.
Wallahu a’lam bish shawab
IKHLAS DALAM BERIBADAH.