Minggu, 17 Juli 2016

IKHLAS DALAM BERIBADAH.

Assalamu'alaikum wr wb,.
Ikhlas dalam Beribadah
Keikhlasan adalah hal yang paling pokok dalam amal ibadah kita. Bahkan, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amalan di sisi Allah ta’ala. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah dengan mengikhlaskan agama untukNya.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Tidaklah satu amalan kecuali diiringi dengan keinginan dan niat yang niat ini wajib kita murnikan untuk Allah ta’ala semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap – tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan.” (HR. Bukhori nomor 1, Muslim nomor 155 & 1907)
Niat adalah perkara yang dapat membedakan antara amalan ibadah dengan kebiasaan. Contoh, seseorang mandi dengan niatan hanya untuk membuat tubuhnya segar, maka ini dianggap sebagai amalan kebiasaan. Berbeda halnya dengan orang yang mandi wajib dengan niatan ibadah dikarenakan dia junub, maka ini termasuk amalan ibadah. Oleh karena itu, seandainya seseorang mandi karena junub, kemudian dia mandi hanya dengan niatan menyegarkan tubuhnya maka mandi wajibnya tidak sah dan dia harus mengulangi mandinya dengan niatan ibadah untuk mengangkat hadats.
Dengan niat pula dapat dibedakan ibadah satu dengan ibadah yang lainnya. Sebagai contoh, ada dua orang yang sedang melaksanakan shalat dua rakaat. Keduanya berbeda. Yang satu melaksanakan shalat sunnah dan lainnya shalat wajib, maka dengan niatlah dibedakan dua amalan ibadah mereka, walaupun tata caranya sama.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim hendaklah kita senantiasa berusaha untuk mengikhlaskan segala amalan ibadah karena Allah ta’ala, mengharapkan ridhoNya, dan kehidupan akhirat, sehingga apa-apa yang kita lakukan dari amalan ibadah tersebut diterima oleh Allah ta’ala yang akan memberatkan timbangan amalan dan pahala di sisiNya.
Keikhlasan menjadi ukuran (barometer) akan nilai besar kecilnya amalan yang kita lakukan. Seseorang yang shalat dengan penuh kekhusyukan, memerhatikan kesempurnaan shalat dari hal-hal yang wajib atau sunnah-nya, takut dengan azab Allah ta’ala, dan mengharapkan rahmatNya. Tentunya, ibadah ini akan bernilai sangat besar di sisi Allah ta’ala. Berbeda dengan orang yang melaksanakan shalat yang meski dilaksanakan dengan penuh kehusyukan, memerhatikan kesempurnaan shalat, tetapi ia melakukannya agar dilihat orang lain atau menginginkan sanjungan orang lain atau takut pada seseorang, sehingga amalan seperti ini akan sia-sia dan tidak bernilai disisi Allah ta’ala sedikit pun. Bahkan amalan ini akan mendatangkan azab bagi pelakunya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya. manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Lantas Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hambaKu?’. Ia menjawab, ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau, ya Allah, sehingga saya mati syahid.’ Allah berkata, ‘Dusta kamu! Sebenarnya kamu berperang bukan karenaKu, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah ta’ala bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat?’. Ia menjawab, ‘Saya telah mempelajari ilmu dan mengajarkannya. Saya juga membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah ta’ala berkata, ‘Kamu dusta! Akan tetapi, kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seorang laki-laki yang diberi keluasan rejeki oleh Allah. Lalu, ia menginfakkan hartanya semua. Setelah itu, diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’. Ia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut dijalan yang Engkau ridhoi.’ Allah berkata, ‘Dusta kamu! Akan tetapi, kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Wahai kaum muslimin jangan sampai kita menjadi seperti orang-orang yang Allah ta’ala gambarkan dalam Al Quran Al Karim,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ O وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ O عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ O تَصْلَى نَاراً حَامِيَةً O
“Sudah datangkah kepadamu (berita) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al Ghasyiyah: 1 – 4)
Dalam ayat yang lain,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً O الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً O
“Katakanlah, apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi 103-104)
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk terus berada di atas keikhlasan dalam seluruh amalan ibadah dan istiqomah di atasnya. Serta kita memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari segala bentuk kesyirikan kepada Allah ta’ala seperti riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin di dengar orang lain).
Dialah Allah yang maha pemberi taufik dan maha berkuasa atas segala sesuatu.

Wallahu a’lam bish shawab

0 komentar:

Posting Komentar