Rabu, 27 Juli 2016

Pentingnya Membayar Zakat bagi Seorang Muslim

Tentang pentingnya zakat bagi seorang muslim, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala mengatakan,
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang agung. Bahkan, zakat adalah rukun ketiga dari rukun-rukun Islam. Zakatlah yang digandengkan dengan shalat di dalam kitab Allah ‘azza wa jalla dan Allah ta’ala telah berfirman, menerangkan faedah-faedah zakat, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan itu akan membersihkan dan menyucikan mereka. Dan doakanlah mereka. Sesungguhnya, doa engkau [menjadi] ketenteraman jiwa untuk mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”(QS. At Taubah: 103)
Jadi, ada dua faedah.
Pertama, zakat membersihkan manusia dari dosa-dosa, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصًّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
Shadaqah [zakat] menghapus kesalahan, sebagaimana air memadamkan api.”
Karena itu, zakat dapat membersihkan manusia dari dosa mereka, karena dosa adalah najis dan kotoran, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya, orang-orang musyrikin itu najis. Maka, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram.” (QS. At Taubah: 28)
Akan tetapi, seorang musyrik ketika pada dirinya tidak ada amalan shalih, maka najisnya adalah najis yang mutlak. Adapun seorang mukmin yang bermaksiat, maka sesungguhnya najisnya sesuai dengan maksiatnya. Karena itu, dalam doa istiftah, disebutkan,
اللّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
Ya Allah, cucilah dosa-dosaku dengan air, salju, dan es.”
Jadi, zakat dapat membersihkan manusia dari dosanya dan menggugurkan kesalahan-kesalahannya.
Faedah kedua, [zakat] menyucikan dan menumbuhkan akhlak dan keimanan. Sebab zakat dapat menambah keimanan seorang hamba, karena zakat adalah amalan shalih dan setiap amalan shalih dapat menambah keimanan.
Demikian pula, [zakat] dapat menumbuhkan akhlak baiknya. Sebab zakat memasukkan orang yang berzakat itu ke dalam golongan orang-orang mulia, dermawan, dan baik hati.


Sumber: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Silsilah Ushul Al Islam: Az Zakah. TTp: Mu-assasah Al Amirah Al ‘Unud binti Abdil Aziz Al Khairiyyah. TTh, halaman 9-12.

Kamis, 21 Juli 2016

MENJAGA LISAN.

Assalamu'alaikum wr wb,.
MENJAGA LISAN.
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Semua hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Surga telah dijelaskan. Segala hal yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam Neraka pun telah disebutkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kusempurnakan untuk kalian nikmatKu dan telah Kuridhai untuk kalian agama Islam.” (QS. Al Maidah: 3)
Termasuk hal yang dapat mendekatkan seseorang ke dalam Surga adalah menjaga lisan. Sebaliknya, perkara yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam Neraka adalah tidak menjaga lisan. Lisan merupakan bagian yang berukuran kecil dari tubuh seorang manusia. Akan tetapi, aktifitas lisan sangat banyak, karena lisan begitu mudah untuk digerakkan.
Jika seorang muslim dapat menjaga anggota tubuh yang satu ini,
lisan, maka keberuntungan yang akan didapatkan. Akan tetapi, siapa yang tidak menjaga bagian tubuh yang kecil ini, maka akibatnya besar. Seseorang dapat celaka, tersungkur ke dalam api Neraka karenanya. Hal ini telah disebutkan oleh manusia yang paling mulia Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Tidaklah yang menyebabkan manusia tersungkur ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka kecuali akibat dari perbuatan lisan-lisan mereka.” [HR. Tirmidzi, “Kitabul Iman”, “Bab Dalil tentang Kemuliaan Shalat”]
Menjaga lisan merupakan perbuatan yang sangat penting dalam
agama ini. Di antara bentuk menjaga lisan adalah menghindari perkataan yang buruk dan yang tidak bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berkata yang baik atau diam.” [HR. Al Bukhari nomor 5559 dan Muslim nomor 67]
Maka, seorang mukmin yang kuat keimanannya, ia selalu memerhatikan betul ucapan-ucapannya. Ia senantiasa menimbang apakah ucapannya bermanfaat atau tidak, apakah ucapannya membuat Allah subhanahu wa ta’ala ridha atau justru membuat Allah subhanahu wa ta’ala murka kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Sungguh seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimat yang diridlai Allah, suatu kalimat yang ia tidak mempedulikannya, namun dengannya Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimat yang dibenci oleh Allah, suatu kalimat yang ia tidak meperdulikannya, namun dengannya Allah melemparkannya ke dalam neraka.” [HR. Al Bukhari nomor 5997]
Seorang muslim yang baik keislamannya senantiasa menjaga
lisannya, baik ketika berada di tengah keramaian maupun ketika seorang diri. Ia meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala maha tahu apa yang ia perbuat dan apa yang ia ucapkan. Ia pun yakin bahwa di sekitarnya ada malaikat yang siap mencatat amalan baik dan amalan buruknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ O كِرَاماً كَاتِبِينَ O يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ O
“Sesungguhnya pada kalian (ada Malaikat) yang mengawasi. Yang
mulia lagi mencatat (amalan kalian). Mereka mengetahui apa yang kamu lakukan.” (QS. Al Infithar 10-12)
Seorang hamba Allah subhanahu wa ta’ala meyakini bahwa apa saja yang diperbuatnya akan ada balasannya dan begitu pula yang diucapkannya. Kebaikan sekecil apapun akan dibalas dengan kebaikan dan kejelekan sekecil apapun akan dibalas dengan kejelekan pula. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ O وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ O
“Siapa saja yang beramal kebaikan sebesar biji dzarrah, maka akan melihat (balasannya). Dan Siapa saja yang beramal kejelekan sebesar biji dzarrah, akan melihat (balasannya).” (QS. Al Zalzalah: 7–8)
Menjauhi Perkataan Dusta
Hampir semua manusia mengetahui bahwa ucapan dusta merupakan suatu kejelekan lisan. Bahkan umat muslim meyakini bahwa perkataan dusta merupakan dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Maukah aku ceritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar? Tiga perkara: menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orangtua, dan bersaksi palsu atau kata-kata palsu.” Waktu itu, beliau sedang bersandar lalu duduk. Beliau terus mengulangi sabdanya, sehingga kami (para sahabat) berkata, “Seandainya beliau berhenti.” [HR Al Bukhari nomor 126]
Seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menggantikan untuknya dengan sesuatu yang lebih baik. Ketika seorang muslim meninggalkan perkataan dusta karena Allah subhanahu wa ta’ala (karena Allah melarangnya dan membencinya), maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menggantikan untuknya dengan yang lebih baik di sisiNya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan,
“Aku menjaminkan [untuk mendapatkan] rumah di bagian bawah dari Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun ia benar, dan rumah di bagian tengah dari Surga bagi yang meninggalkan dusta, walaupun hanya bergurau, dan rumah di bagian atas dari Surga bagi yang baik akhlaknya.” [HR. Abu Dawud, “Kitabul Adab”]
Bahkan kita tidak cukup dengan hanya menjaga diri dari perkataan dusta. Akan tetapi, kita harus menjaga diri pula dari teman yang pendusta, sebagaimana dalam surat At Taubah ayat 119 Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At Taubah: 119)
Hendaknya kita benar-benar meyakini, perkataan dusta merupakan salah satu hal dari hal-hal yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam Neraka, sehingga tidak terbesit sedikit pun oleh kita untuk mengatakan perkataan dusta. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan. Dan kebaikan mengantarkan kepada Surga. Dan sesungguhnya jika seorang hamba selalu berkata jujur, maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sungguh kedustaan mengantarkan kepada kejelekan. Dan kejelekan mengantarkan kepada Neraka. Dan sesungguhnya seseorang bila selalu berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” [HR. Al Bukhari 5629 dan Muslim]

Semoga Allah selalu membimbing kita untuk menjaga lisan dan memudahkan jalan kita menuju SurgaNya. Amin.

Minggu, 17 Juli 2016

IKHLAS DALAM BERIBADAH.

Assalamu'alaikum wr wb,.
Ikhlas dalam Beribadah
Keikhlasan adalah hal yang paling pokok dalam amal ibadah kita. Bahkan, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amalan di sisi Allah ta’ala. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah dengan mengikhlaskan agama untukNya.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Tidaklah satu amalan kecuali diiringi dengan keinginan dan niat yang niat ini wajib kita murnikan untuk Allah ta’ala semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap – tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan.” (HR. Bukhori nomor 1, Muslim nomor 155 & 1907)
Niat adalah perkara yang dapat membedakan antara amalan ibadah dengan kebiasaan. Contoh, seseorang mandi dengan niatan hanya untuk membuat tubuhnya segar, maka ini dianggap sebagai amalan kebiasaan. Berbeda halnya dengan orang yang mandi wajib dengan niatan ibadah dikarenakan dia junub, maka ini termasuk amalan ibadah. Oleh karena itu, seandainya seseorang mandi karena junub, kemudian dia mandi hanya dengan niatan menyegarkan tubuhnya maka mandi wajibnya tidak sah dan dia harus mengulangi mandinya dengan niatan ibadah untuk mengangkat hadats.
Dengan niat pula dapat dibedakan ibadah satu dengan ibadah yang lainnya. Sebagai contoh, ada dua orang yang sedang melaksanakan shalat dua rakaat. Keduanya berbeda. Yang satu melaksanakan shalat sunnah dan lainnya shalat wajib, maka dengan niatlah dibedakan dua amalan ibadah mereka, walaupun tata caranya sama.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim hendaklah kita senantiasa berusaha untuk mengikhlaskan segala amalan ibadah karena Allah ta’ala, mengharapkan ridhoNya, dan kehidupan akhirat, sehingga apa-apa yang kita lakukan dari amalan ibadah tersebut diterima oleh Allah ta’ala yang akan memberatkan timbangan amalan dan pahala di sisiNya.
Keikhlasan menjadi ukuran (barometer) akan nilai besar kecilnya amalan yang kita lakukan. Seseorang yang shalat dengan penuh kekhusyukan, memerhatikan kesempurnaan shalat dari hal-hal yang wajib atau sunnah-nya, takut dengan azab Allah ta’ala, dan mengharapkan rahmatNya. Tentunya, ibadah ini akan bernilai sangat besar di sisi Allah ta’ala. Berbeda dengan orang yang melaksanakan shalat yang meski dilaksanakan dengan penuh kehusyukan, memerhatikan kesempurnaan shalat, tetapi ia melakukannya agar dilihat orang lain atau menginginkan sanjungan orang lain atau takut pada seseorang, sehingga amalan seperti ini akan sia-sia dan tidak bernilai disisi Allah ta’ala sedikit pun. Bahkan amalan ini akan mendatangkan azab bagi pelakunya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya. manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Lantas Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hambaKu?’. Ia menjawab, ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau, ya Allah, sehingga saya mati syahid.’ Allah berkata, ‘Dusta kamu! Sebenarnya kamu berperang bukan karenaKu, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah ta’ala bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat?’. Ia menjawab, ‘Saya telah mempelajari ilmu dan mengajarkannya. Saya juga membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah ta’ala berkata, ‘Kamu dusta! Akan tetapi, kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seorang laki-laki yang diberi keluasan rejeki oleh Allah. Lalu, ia menginfakkan hartanya semua. Setelah itu, diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’. Ia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut dijalan yang Engkau ridhoi.’ Allah berkata, ‘Dusta kamu! Akan tetapi, kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Wahai kaum muslimin jangan sampai kita menjadi seperti orang-orang yang Allah ta’ala gambarkan dalam Al Quran Al Karim,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ O وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ O عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ O تَصْلَى نَاراً حَامِيَةً O
“Sudah datangkah kepadamu (berita) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al Ghasyiyah: 1 – 4)
Dalam ayat yang lain,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً O الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً O
“Katakanlah, apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi 103-104)
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk terus berada di atas keikhlasan dalam seluruh amalan ibadah dan istiqomah di atasnya. Serta kita memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari segala bentuk kesyirikan kepada Allah ta’ala seperti riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin di dengar orang lain).
Dialah Allah yang maha pemberi taufik dan maha berkuasa atas segala sesuatu.

Wallahu a’lam bish shawab

Kamis, 14 Juli 2016

MENCARI KEBAHAGIAAN DI DUNIA .

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

MENCARI KEBAHAGIAAN DI DUNIA
Setiap manusia pasti mendambakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha melakukan sebab-sebab terciptanya kebahagiaan dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Seandainya kebahagiaan itu bisa dibeli dengan harta benda, niscaya akan mereka
beli demi untuk mendapatkannya meskipun harus dibayar dengan seluruh hartanya.
Bukanlah ukuran kebahagiaan itu dengan banyaknya harta kekayaan. Bukan pula dengan tingginya jabatan atau kedudukan di hadapan makhluk. Sebab orang yang memiliki harta kekayaan yang melimpah banyak yang hidupnya tidak tenang dan selalu gelisah. Begitu pula orang yang memiliki jabatan tidak merasa aman di dalam hidupnya. Sebaliknya, kita dapatkan orang yang kurang dalam hartanya, hidup dengan seadanya dan tidak banyak manusia yang memperhatikannya, tetapi ia bisa merasakan kebahagiaan yang tidak dirasakan oleh orang lain.
Hal ini menunjukkkan bahwa nilai kebahagiaan itu ada di dalam hati dan jiwa seorang hamba. Apabila hati merasakan ketenangan dan ketenteraman, maka seluruh jasad ini akan merasakan kebahagiaan. Karena itu, perlu kiranya kita mengetahui sebab-sebab terwujudnya kebahagiaan.

Sebab terbesar dan pokok dari kebahagiaan seorang hamba adalah beriman dan beramal
saleh, sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Siapa saja yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)
Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikan, siapa saja yang menggabungkan antara keimanan dan amal saleh ia akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan ganjaran yang berlipat di akhirat.
Orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar akan membuahkan amalan yang saleh dan mendorongnya untuk memperbaiki akhlak dan hati mereka. Mereka memiliki landasan yang kokoh ketika dihadapkan dengan berbagai macam permasalahan. Juga ketika diberikan kenikmatan dan keleluasaan, maka mereka akan bersyukur dengannya dan menggunakan kenikmatan pada jalan yang diridhoi dan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Semua hal yang dimaksud akan semakin mendatangkan kebahagiaan. Allah langgengkan kenikmatan yang sudah ada. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala akan tambahkan kenikmatan yang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb kalian menyatakan, ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti akan kami tambah (nikmat) kepada kalian. Dan jika kalian mengingkari (nikmat yang ada), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih’.” (QS. Ibrahim: 7)
Apabila ditimpa dengan ujian kesempitan dan kesusahan, mereka akan menghadapinya dengan penuh kesabaran dan meyakini bahwa tidaklah Allah berikan musibah, kecuali Allah inginkan dengannya hikmah yang besar. Bukti bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan padanya kebaikan adalah seperti yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
“Siapa saja yang Allah inginkan padanya kebaikan, maka Allah timpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang mukmin yakin, jika ia senantiasa bersabar di atas segala macam musibah dan mengharap ridho Allah, maka ia akan mendapat ganjaran yang besar. Hal inilah yang menjadikan mukmin selalu bahagia dalam setiap keadaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin itu. Sesungguhnya segala urusannya baik baginya dan itu tidak dimiliki oleh selain mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka yang demikian itu sangat baik baginya. Dan jika ia tertimpa kesempitan, ia sabar, maka yang demikian itu sangat baik pula baginya.” (HR. Muslim)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seorang mukmin senantiasa mendapatkan buah kebaikan dari amalan kebaikannya, walaupun dihadapkan kepadanya kesedihan dan kesusahan atau diberikan untuknya kesenangan dan kelapangan.
Berbeda dengan orang yang tidak memiliki keimanan. Akan terasa sempit, jika diuji dengan kesengsaraan. Ia akan meratapi kesedihannya. Ia tidak menerima ketetapan yang telah diberikan Allah. Musibah semakin membuatnya sengsara. Wal iyadzu billah.
Perkara kedua di antara sebab mendatangkan kebahagiaan adalah berbuat baik kepada seluruh makhluk, baik lewat perbuatan ataupun lewat ucapan. Allah subhanahu wa ta’ala menahan kejelekan yang akan menimpa seorang mukmin dan keluarganya lewat kebaikan yang dilakukan mukmin tersebut, sehingga akan muncul ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengazab seseorang selama ia masih beriman dan bertakwa. terlebih bagi orang yang berbuat kepada seluruh makhluk. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَّا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَآمَنتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
”Mengapa Allah menyiksa kalian, jika kalian bersyukur dan beriman? Dan adalah Allah yang maha mensyukuri lagi aha mengetahui.” (QS. An Nisa: 147)
Dengan perbuatan baik terhadap makhluk yang didasari dengan keikhlasan mengharap wajah Allah, akan datang pahala yang besar dan balasan kebaikan. Dari bentuk balasan kebaikan, adalah Allah gantikan kegundah-gulanaan dengan ketenangan dan kebahagiaan. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَّا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan siapa saja yang berbuat seperti itu karena mencari ridho Allah, maka kelak Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisa: 114)
Semoga kita senantiasa diberikan rahmat oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan diberikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allahumma amiin.