Kamis, 01 September 2016

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarrakatuh.
Memuliakan Orang yang Lebih Tua Termasuk Mengagungkan Allah

Dalam kitab Huquq Kibar As Sinni fil Islam, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafizhahullahu ta’ala menulis,
“Sama saja apakah orang yang sepuh itu ayah sendiri, kerabat ataukah tetangga atau apakah ia muslim atau non muslim; ia memiliki hak yang dijamin dan dijaga serta dilindungi oleh syariat. Dan telah datang dalam satu hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرآنِ غَيْرِ الْغَالِي فِيْهِ وَلَا الْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِيْ السُّلْطَانِ المُقْسِطِ
“Sesungguhnya, termasuk dari mengagungkan Allah adalah memuliakan seorang muslim yang sudah sepuh, seorang penghafal Al Qur-an—tanpa berlebih-lebihan atau bermudah-mudahan terhadapnya—dan memuliakan seorang penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud nomor 4843 dan di-hasan-kan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab Shahih Al Jami’ nomor 2199)
Karena itu, mereka bertiga—memuliakan mereka termasuk mengagungkan Allah. Dan mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah tuntutan yang paling besar dan tujuan yang paling tepat.
Menyepelekan permasalahan wajib itu adalah menyepelekan keagungan Allah. SebabRabb semesta alam memintamu untuk perkara tersebut, karena maslahat, kebajikan, kesempurnaan, kebaikan dan keelokan yang ada padanya.
Jika engkau menyepelekannya, maka perbuatanmu itu adalah kelemahanmu dalam mengagungkan Rabb semesta alam. Dan menjalankan perkara tersebut termasuk pengagungan terhadap Rabb semesta alam.”

Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr. Huquq Kibar As Sinni fil Islam.

Rabu, 27 Juli 2016

Pentingnya Membayar Zakat bagi Seorang Muslim

Tentang pentingnya zakat bagi seorang muslim, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala mengatakan,
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang agung. Bahkan, zakat adalah rukun ketiga dari rukun-rukun Islam. Zakatlah yang digandengkan dengan shalat di dalam kitab Allah ‘azza wa jalla dan Allah ta’ala telah berfirman, menerangkan faedah-faedah zakat, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan itu akan membersihkan dan menyucikan mereka. Dan doakanlah mereka. Sesungguhnya, doa engkau [menjadi] ketenteraman jiwa untuk mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”(QS. At Taubah: 103)
Jadi, ada dua faedah.
Pertama, zakat membersihkan manusia dari dosa-dosa, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصًّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
Shadaqah [zakat] menghapus kesalahan, sebagaimana air memadamkan api.”
Karena itu, zakat dapat membersihkan manusia dari dosa mereka, karena dosa adalah najis dan kotoran, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya, orang-orang musyrikin itu najis. Maka, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram.” (QS. At Taubah: 28)
Akan tetapi, seorang musyrik ketika pada dirinya tidak ada amalan shalih, maka najisnya adalah najis yang mutlak. Adapun seorang mukmin yang bermaksiat, maka sesungguhnya najisnya sesuai dengan maksiatnya. Karena itu, dalam doa istiftah, disebutkan,
اللّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
Ya Allah, cucilah dosa-dosaku dengan air, salju, dan es.”
Jadi, zakat dapat membersihkan manusia dari dosanya dan menggugurkan kesalahan-kesalahannya.
Faedah kedua, [zakat] menyucikan dan menumbuhkan akhlak dan keimanan. Sebab zakat dapat menambah keimanan seorang hamba, karena zakat adalah amalan shalih dan setiap amalan shalih dapat menambah keimanan.
Demikian pula, [zakat] dapat menumbuhkan akhlak baiknya. Sebab zakat memasukkan orang yang berzakat itu ke dalam golongan orang-orang mulia, dermawan, dan baik hati.


Sumber: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Silsilah Ushul Al Islam: Az Zakah. TTp: Mu-assasah Al Amirah Al ‘Unud binti Abdil Aziz Al Khairiyyah. TTh, halaman 9-12.

Kamis, 21 Juli 2016

MENJAGA LISAN.

Assalamu'alaikum wr wb,.
MENJAGA LISAN.
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Semua hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Surga telah dijelaskan. Segala hal yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam Neraka pun telah disebutkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kusempurnakan untuk kalian nikmatKu dan telah Kuridhai untuk kalian agama Islam.” (QS. Al Maidah: 3)
Termasuk hal yang dapat mendekatkan seseorang ke dalam Surga adalah menjaga lisan. Sebaliknya, perkara yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam Neraka adalah tidak menjaga lisan. Lisan merupakan bagian yang berukuran kecil dari tubuh seorang manusia. Akan tetapi, aktifitas lisan sangat banyak, karena lisan begitu mudah untuk digerakkan.
Jika seorang muslim dapat menjaga anggota tubuh yang satu ini,
lisan, maka keberuntungan yang akan didapatkan. Akan tetapi, siapa yang tidak menjaga bagian tubuh yang kecil ini, maka akibatnya besar. Seseorang dapat celaka, tersungkur ke dalam api Neraka karenanya. Hal ini telah disebutkan oleh manusia yang paling mulia Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Tidaklah yang menyebabkan manusia tersungkur ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka kecuali akibat dari perbuatan lisan-lisan mereka.” [HR. Tirmidzi, “Kitabul Iman”, “Bab Dalil tentang Kemuliaan Shalat”]
Menjaga lisan merupakan perbuatan yang sangat penting dalam
agama ini. Di antara bentuk menjaga lisan adalah menghindari perkataan yang buruk dan yang tidak bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berkata yang baik atau diam.” [HR. Al Bukhari nomor 5559 dan Muslim nomor 67]
Maka, seorang mukmin yang kuat keimanannya, ia selalu memerhatikan betul ucapan-ucapannya. Ia senantiasa menimbang apakah ucapannya bermanfaat atau tidak, apakah ucapannya membuat Allah subhanahu wa ta’ala ridha atau justru membuat Allah subhanahu wa ta’ala murka kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Sungguh seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimat yang diridlai Allah, suatu kalimat yang ia tidak mempedulikannya, namun dengannya Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimat yang dibenci oleh Allah, suatu kalimat yang ia tidak meperdulikannya, namun dengannya Allah melemparkannya ke dalam neraka.” [HR. Al Bukhari nomor 5997]
Seorang muslim yang baik keislamannya senantiasa menjaga
lisannya, baik ketika berada di tengah keramaian maupun ketika seorang diri. Ia meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala maha tahu apa yang ia perbuat dan apa yang ia ucapkan. Ia pun yakin bahwa di sekitarnya ada malaikat yang siap mencatat amalan baik dan amalan buruknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ O كِرَاماً كَاتِبِينَ O يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ O
“Sesungguhnya pada kalian (ada Malaikat) yang mengawasi. Yang
mulia lagi mencatat (amalan kalian). Mereka mengetahui apa yang kamu lakukan.” (QS. Al Infithar 10-12)
Seorang hamba Allah subhanahu wa ta’ala meyakini bahwa apa saja yang diperbuatnya akan ada balasannya dan begitu pula yang diucapkannya. Kebaikan sekecil apapun akan dibalas dengan kebaikan dan kejelekan sekecil apapun akan dibalas dengan kejelekan pula. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ O وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ O
“Siapa saja yang beramal kebaikan sebesar biji dzarrah, maka akan melihat (balasannya). Dan Siapa saja yang beramal kejelekan sebesar biji dzarrah, akan melihat (balasannya).” (QS. Al Zalzalah: 7–8)
Menjauhi Perkataan Dusta
Hampir semua manusia mengetahui bahwa ucapan dusta merupakan suatu kejelekan lisan. Bahkan umat muslim meyakini bahwa perkataan dusta merupakan dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Maukah aku ceritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar? Tiga perkara: menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orangtua, dan bersaksi palsu atau kata-kata palsu.” Waktu itu, beliau sedang bersandar lalu duduk. Beliau terus mengulangi sabdanya, sehingga kami (para sahabat) berkata, “Seandainya beliau berhenti.” [HR Al Bukhari nomor 126]
Seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menggantikan untuknya dengan sesuatu yang lebih baik. Ketika seorang muslim meninggalkan perkataan dusta karena Allah subhanahu wa ta’ala (karena Allah melarangnya dan membencinya), maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menggantikan untuknya dengan yang lebih baik di sisiNya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan,
“Aku menjaminkan [untuk mendapatkan] rumah di bagian bawah dari Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun ia benar, dan rumah di bagian tengah dari Surga bagi yang meninggalkan dusta, walaupun hanya bergurau, dan rumah di bagian atas dari Surga bagi yang baik akhlaknya.” [HR. Abu Dawud, “Kitabul Adab”]
Bahkan kita tidak cukup dengan hanya menjaga diri dari perkataan dusta. Akan tetapi, kita harus menjaga diri pula dari teman yang pendusta, sebagaimana dalam surat At Taubah ayat 119 Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At Taubah: 119)
Hendaknya kita benar-benar meyakini, perkataan dusta merupakan salah satu hal dari hal-hal yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam Neraka, sehingga tidak terbesit sedikit pun oleh kita untuk mengatakan perkataan dusta. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan. Dan kebaikan mengantarkan kepada Surga. Dan sesungguhnya jika seorang hamba selalu berkata jujur, maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sungguh kedustaan mengantarkan kepada kejelekan. Dan kejelekan mengantarkan kepada Neraka. Dan sesungguhnya seseorang bila selalu berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” [HR. Al Bukhari 5629 dan Muslim]

Semoga Allah selalu membimbing kita untuk menjaga lisan dan memudahkan jalan kita menuju SurgaNya. Amin.

Minggu, 17 Juli 2016

IKHLAS DALAM BERIBADAH.

Assalamu'alaikum wr wb,.
Ikhlas dalam Beribadah
Keikhlasan adalah hal yang paling pokok dalam amal ibadah kita. Bahkan, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amalan di sisi Allah ta’ala. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah dengan mengikhlaskan agama untukNya.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Tidaklah satu amalan kecuali diiringi dengan keinginan dan niat yang niat ini wajib kita murnikan untuk Allah ta’ala semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap – tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan.” (HR. Bukhori nomor 1, Muslim nomor 155 & 1907)
Niat adalah perkara yang dapat membedakan antara amalan ibadah dengan kebiasaan. Contoh, seseorang mandi dengan niatan hanya untuk membuat tubuhnya segar, maka ini dianggap sebagai amalan kebiasaan. Berbeda halnya dengan orang yang mandi wajib dengan niatan ibadah dikarenakan dia junub, maka ini termasuk amalan ibadah. Oleh karena itu, seandainya seseorang mandi karena junub, kemudian dia mandi hanya dengan niatan menyegarkan tubuhnya maka mandi wajibnya tidak sah dan dia harus mengulangi mandinya dengan niatan ibadah untuk mengangkat hadats.
Dengan niat pula dapat dibedakan ibadah satu dengan ibadah yang lainnya. Sebagai contoh, ada dua orang yang sedang melaksanakan shalat dua rakaat. Keduanya berbeda. Yang satu melaksanakan shalat sunnah dan lainnya shalat wajib, maka dengan niatlah dibedakan dua amalan ibadah mereka, walaupun tata caranya sama.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim hendaklah kita senantiasa berusaha untuk mengikhlaskan segala amalan ibadah karena Allah ta’ala, mengharapkan ridhoNya, dan kehidupan akhirat, sehingga apa-apa yang kita lakukan dari amalan ibadah tersebut diterima oleh Allah ta’ala yang akan memberatkan timbangan amalan dan pahala di sisiNya.
Keikhlasan menjadi ukuran (barometer) akan nilai besar kecilnya amalan yang kita lakukan. Seseorang yang shalat dengan penuh kekhusyukan, memerhatikan kesempurnaan shalat dari hal-hal yang wajib atau sunnah-nya, takut dengan azab Allah ta’ala, dan mengharapkan rahmatNya. Tentunya, ibadah ini akan bernilai sangat besar di sisi Allah ta’ala. Berbeda dengan orang yang melaksanakan shalat yang meski dilaksanakan dengan penuh kehusyukan, memerhatikan kesempurnaan shalat, tetapi ia melakukannya agar dilihat orang lain atau menginginkan sanjungan orang lain atau takut pada seseorang, sehingga amalan seperti ini akan sia-sia dan tidak bernilai disisi Allah ta’ala sedikit pun. Bahkan amalan ini akan mendatangkan azab bagi pelakunya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya. manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Lantas Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hambaKu?’. Ia menjawab, ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau, ya Allah, sehingga saya mati syahid.’ Allah berkata, ‘Dusta kamu! Sebenarnya kamu berperang bukan karenaKu, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya. Lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah ta’ala bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat?’. Ia menjawab, ‘Saya telah mempelajari ilmu dan mengajarkannya. Saya juga membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah ta’ala berkata, ‘Kamu dusta! Akan tetapi, kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam Neraka. Dan didatangkan pula seorang laki-laki yang diberi keluasan rejeki oleh Allah. Lalu, ia menginfakkan hartanya semua. Setelah itu, diperlihatkan kepadanya kenikmatan, sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’. Ia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut dijalan yang Engkau ridhoi.’ Allah berkata, ‘Dusta kamu! Akan tetapi, kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Wahai kaum muslimin jangan sampai kita menjadi seperti orang-orang yang Allah ta’ala gambarkan dalam Al Quran Al Karim,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ O وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ O عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ O تَصْلَى نَاراً حَامِيَةً O
“Sudah datangkah kepadamu (berita) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al Ghasyiyah: 1 – 4)
Dalam ayat yang lain,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً O الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً O
“Katakanlah, apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi 103-104)
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk terus berada di atas keikhlasan dalam seluruh amalan ibadah dan istiqomah di atasnya. Serta kita memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari segala bentuk kesyirikan kepada Allah ta’ala seperti riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin di dengar orang lain).
Dialah Allah yang maha pemberi taufik dan maha berkuasa atas segala sesuatu.

Wallahu a’lam bish shawab

Kamis, 14 Juli 2016

MENCARI KEBAHAGIAAN DI DUNIA .

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

MENCARI KEBAHAGIAAN DI DUNIA
Setiap manusia pasti mendambakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha melakukan sebab-sebab terciptanya kebahagiaan dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Seandainya kebahagiaan itu bisa dibeli dengan harta benda, niscaya akan mereka
beli demi untuk mendapatkannya meskipun harus dibayar dengan seluruh hartanya.
Bukanlah ukuran kebahagiaan itu dengan banyaknya harta kekayaan. Bukan pula dengan tingginya jabatan atau kedudukan di hadapan makhluk. Sebab orang yang memiliki harta kekayaan yang melimpah banyak yang hidupnya tidak tenang dan selalu gelisah. Begitu pula orang yang memiliki jabatan tidak merasa aman di dalam hidupnya. Sebaliknya, kita dapatkan orang yang kurang dalam hartanya, hidup dengan seadanya dan tidak banyak manusia yang memperhatikannya, tetapi ia bisa merasakan kebahagiaan yang tidak dirasakan oleh orang lain.
Hal ini menunjukkkan bahwa nilai kebahagiaan itu ada di dalam hati dan jiwa seorang hamba. Apabila hati merasakan ketenangan dan ketenteraman, maka seluruh jasad ini akan merasakan kebahagiaan. Karena itu, perlu kiranya kita mengetahui sebab-sebab terwujudnya kebahagiaan.

Sebab terbesar dan pokok dari kebahagiaan seorang hamba adalah beriman dan beramal
saleh, sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Siapa saja yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)
Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikan, siapa saja yang menggabungkan antara keimanan dan amal saleh ia akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan ganjaran yang berlipat di akhirat.
Orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar akan membuahkan amalan yang saleh dan mendorongnya untuk memperbaiki akhlak dan hati mereka. Mereka memiliki landasan yang kokoh ketika dihadapkan dengan berbagai macam permasalahan. Juga ketika diberikan kenikmatan dan keleluasaan, maka mereka akan bersyukur dengannya dan menggunakan kenikmatan pada jalan yang diridhoi dan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Semua hal yang dimaksud akan semakin mendatangkan kebahagiaan. Allah langgengkan kenikmatan yang sudah ada. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala akan tambahkan kenikmatan yang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb kalian menyatakan, ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti akan kami tambah (nikmat) kepada kalian. Dan jika kalian mengingkari (nikmat yang ada), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih’.” (QS. Ibrahim: 7)
Apabila ditimpa dengan ujian kesempitan dan kesusahan, mereka akan menghadapinya dengan penuh kesabaran dan meyakini bahwa tidaklah Allah berikan musibah, kecuali Allah inginkan dengannya hikmah yang besar. Bukti bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan padanya kebaikan adalah seperti yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
“Siapa saja yang Allah inginkan padanya kebaikan, maka Allah timpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang mukmin yakin, jika ia senantiasa bersabar di atas segala macam musibah dan mengharap ridho Allah, maka ia akan mendapat ganjaran yang besar. Hal inilah yang menjadikan mukmin selalu bahagia dalam setiap keadaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin itu. Sesungguhnya segala urusannya baik baginya dan itu tidak dimiliki oleh selain mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka yang demikian itu sangat baik baginya. Dan jika ia tertimpa kesempitan, ia sabar, maka yang demikian itu sangat baik pula baginya.” (HR. Muslim)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seorang mukmin senantiasa mendapatkan buah kebaikan dari amalan kebaikannya, walaupun dihadapkan kepadanya kesedihan dan kesusahan atau diberikan untuknya kesenangan dan kelapangan.
Berbeda dengan orang yang tidak memiliki keimanan. Akan terasa sempit, jika diuji dengan kesengsaraan. Ia akan meratapi kesedihannya. Ia tidak menerima ketetapan yang telah diberikan Allah. Musibah semakin membuatnya sengsara. Wal iyadzu billah.
Perkara kedua di antara sebab mendatangkan kebahagiaan adalah berbuat baik kepada seluruh makhluk, baik lewat perbuatan ataupun lewat ucapan. Allah subhanahu wa ta’ala menahan kejelekan yang akan menimpa seorang mukmin dan keluarganya lewat kebaikan yang dilakukan mukmin tersebut, sehingga akan muncul ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengazab seseorang selama ia masih beriman dan bertakwa. terlebih bagi orang yang berbuat kepada seluruh makhluk. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَّا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَآمَنتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
”Mengapa Allah menyiksa kalian, jika kalian bersyukur dan beriman? Dan adalah Allah yang maha mensyukuri lagi aha mengetahui.” (QS. An Nisa: 147)
Dengan perbuatan baik terhadap makhluk yang didasari dengan keikhlasan mengharap wajah Allah, akan datang pahala yang besar dan balasan kebaikan. Dari bentuk balasan kebaikan, adalah Allah gantikan kegundah-gulanaan dengan ketenangan dan kebahagiaan. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَّا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan siapa saja yang berbuat seperti itu karena mencari ridho Allah, maka kelak Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisa: 114)
Semoga kita senantiasa diberikan rahmat oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan diberikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allahumma amiin.

Minggu, 17 Januari 2016

ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH,.


Yazid Ar-Raqqsyi meriwayatkan dari Anas bin Malik “Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah pada waktu yang tidak biasa dengan raut muka yang berbeda dari biasanya. Rasulullah bertanya: Wahai Jibril, kenapa Aku melihat raut mukamu berbeda?

Jibril menjawab, "Wahai Muhammad, aku datang kepadamu pada saat Allah memerintahkan supaya api neraka dinyalakan. Tidak pantas jika orang yang mengetahui bahwa -- neraka, siksa kubur dan siksa Allah itu sangat dasyat-- untuk bersenang sebelum dirinya merasa aman dari ancaman itu."

Rasulullah menjawab: "Wahai Jibril, lukiskanlah keadaan neraka itu kepadaku."

Jibril berkata:  "Baik, ...Ketika Allah swt menciptakan neraka, apinya dinyalakan seribu tahun hingga berwarna hitam pekat, nyala dan baranya tidak pernah padam."

"Demi Dzat yang mengutus engkau kebenaran sebagai Nabi, seandainya neraka itu berlubang sebesar lubang jarum, niscaya segenap penghuni dunia akan terbakar karena panasnya."

"Demi Dzat yg mengutus Engkau dengan kebenaran sebagai Nabi, seandainya ada baju penghuni neraka itu digantung diantara langit dan bumi, niscaya semua penghuni dunia akan mati karena bau busuk dan panasnya."

"Demi Dzat yg mengutus Engkau kebenaran sebagai Nabi, seandainya sehasta dari mata rantai sebagaimana yang disebutkan didalam al qur’an diletakkan di puncak gunung, niscaya bumi sampai kedalamnya akan meleleh."

"Demi Dzat yang mengutus Engkau kebenaran sebagai Nabi, seandainya ada seorang berada di ujung barat dunia ini disiksa, niscaya orang yang berada di ujung timur akan terbakar karena panasnya."

Neraka itu mempunyai 7 pintu dan masing-masing pintu dibagi-bagi untuk laki-laki dan perempuan.

Rasulullah bertanya; “Apakah pintu-pintu itu seperti pintu kami?”

Jibril menjawab; “Tidak.Pintu itu selalu terbuka dan pintu yang satu berada dibawah pintu yang lain. Jarak pintu yang satu dengan pintu yang lain sejauh perjalan 70 tahun. Pintu yang dibawahnya lebih panas 70 x lipat dari pintu yang diatasnya."

"Musuh-musuh Allah diseret kesana dan jika mereka sampai di pintu itu, malaikat Zabaniyah menyambut mereka dengan membawa rantai dan belenggu. Rantai itu dimasukkan ke dalam mulutnya dan keluar dari duburnya, sedangkan tangan kirinya dibelenggu dengan lehernya, dan tangan kanannya dimasukkan ke dalam dada hingga tembus ke bahu.

Setiap orang yang durhaka itu dirantai bersama setan dalam belenggu yang sama, lantas diseret wajahnya tersungkur dan dipukul oleh malaikat dengan palu. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalam neraka."

Rasulullah bertanya, "Siapakah penghuni masing-masing pintu itu?"

Jibril menjawab,  "Pintu yang paling bawah namanya Hawiyah.  Pintu neraka Hawiyyah ini adalah pintu neraka yang paling bawah (dasar), yang merupakan neraka yang paling mengerikan. Pintu neraka ini ditempati oleh orang-orang munafik, orang kafir termasuk juga keluarga Fir'aun, dalam neraka Hawiyyah.

Hal ini sebagaimana arti dari firman Allah ;"Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyyah" (QS.Al-Qari'ah :9).

Pintu kedua namanya Jahim.  Yakni pintu neraka tingkatan ke 6. Tingkatan neraka ini di atasnya neraka Hawiyyah. Di dalamnya ditempati oleh orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah.  Hal ini sebagaimana arti firman Allah ini :"Dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat" (QS.Asy-Syu'araa :91).

Pintu ketiga namanya Saqar, tempat arang-orang shabi'in. Merupakan pintu neraka pada tingkatan ke 5. Di dalam pintu itu ditempati oleh orang-orang yang menyembah berhala atau menyembah patung-patung yang dibuat bangsanya sendiri.

Tingkatan pintu neraka ini, terletak di atasnya pintu neraka Jahim. Tentang neraka ini, Allah telah berfirman yang artinya :"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)" (QS. Al-Mudatstsir : 42)

Pintu keempat namanya Ladza,  berisi iblis dan orang-orang yang mengikutinya, serta orang Majusi. Ladza merupakan pintu neraka pada tingkatan nomor 4.  Di dalamnya ditempati Iblis laknatullah beserta orang-orang yang mengikutinya dan orang-orang yang terbujuk rayuannya. Kemudian orang-orang Majusi pun ikut serta menempati neraka Ladza ini. Mereka kekal bersama Iblis di dalamnya. Tingkatan pintu neraka Ladza ini diatasnya pintu neraka Saqar.

Dalam hal ini Allah telah berfirman : Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak". (QS. Al-Ma'arij : 15). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Iblis dan para pengikutnya akan dimasukkan ke dalam neraka Ladza. Seperti apa yang dikatakan oleh Malaikat Maut (malaikat Izrail) ketika Iblis hendak dicabut nyawanya, maka malaikat maut itu berkata, bahwa Iblis akan diberi minum dari neraka Ladza.

Pintu kelima namanya Huthamah, tempat orang-orang Yahudi. Merupakan pintu neraka pada neraka tingkatan ke 3. Di dalamnya ditempati oleh orang-orang Yahudi dan para pengikutnya. Pintu neraka Huthamah ini, tingkatannya di atas pintu neraka Ladza yang dihuni para Iblis.  Tentang neraka Huthamah ini, Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an : "Dan tahukah kamu, apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan". (QS. Al-Humazah : 5-6).

Pintu keenam namanya Sa'ir, merupakan pintu neraka pada neraka tingkatan ke 2.  Di dalamnya ditempati oleh orang-orang Nashrani dan para pengikutnya. Pintu neraka ini berada di atas tingkatan pintu neraka Huthamah. Mengenai neraka ini, Allah Ta'ala telah berfirman :"Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)".(QS. Al-Insyigaq : 12).

Selanjutnya Jibril terdiam karena merasa segan kepada Rasulullah Saw. kemudian Rasulullah bertanya, "Kenapa engkau tidak memberitahukan penghuni pintu yang ketujuh?"

Jibril menjawab : "Pintu ke tujuh namanya pintu neraka Jahanam. Merupakan pintu neraka yang paling atas (pertama).  Di dalamnya berisi umatmu yang melakukan dosa-dosa besar dan tidak tobat sampai mereka meninggal dunia."

Rasulullah pingsan mendengar penjelasan Jibril tersebut. Jibril meletakan kepala Rasulullah di pangkuannya sampai Beliau sadar kembali.

Salman Al-Farisi datang dan berdiri di depan pintu seraya berkata, ”Assalaamu'alaikum, yaa ahla baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan junjunganku Rasulullah Saw.?" Namun tidak ada yang menjawab, sehingga meraka pun menangis dan terjatuh.

Rasulullah bersabda: "Betapa besar cobaan yang menimpaku dan aku merasa sangat sedih.  Jadi, ada di antara umatku yang akan masuk neraka?"

Jibril menjawab, "benar, yaitu umatmu yang mengerjakan dosa-dosa besar.

Kemudian Rasulullah saw. menangis, dan Jibril pun juga ikut menangis. Rasulullah Saw. lantas masuk ke rumahnya dan menyendiri. Beliau hanya keluar rumah jika hendak mengerjakan shalat dan tidak berbicara dengan siapa pun. Dalam shalat beliau menangis dan sangat merendahkan diri kepada Allah Ta’ala.

Pada hari yang ketiga, Abu Bakar r.a. datang ke rumah beliau dan mengucapkan, ”Assalaamu’alaikum, yaa ahla baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan Rasulullah SAW. ?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya, sehingga Abu Bakar menangis tersedu-sedu.

Umar r.a. datang dan berdiri di depan pintu seraya berkata, ”Assalaamu' alaikum, yaa ahlal baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan Rasulullah Saw.?" Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya, sehingga Umar lantas menangis tersedu-sedu.

Kemudian Salman bangkit dan mendatangi rumah Fathimah. Sambil berdiri di depan pintu ia berkata, " Assalaamu' alaikum, wahai putri Rasulullah Saw” sementara Ali r .a. sedang tidak ada di rumah.

Salman lantas berkata, "Wahai putri Rasulullah Saw ., dalam beberapa hari ini Rasulullah Saw. suka menyendiri. Beliau tidak keluar rumah kecuali untuk shalat dan tidak pemah berkata-kata serta tidak mengizinkan seseorang untuk masuk ke rumah beliau."

Fathimah lantas pergi ke rumah beliau (Rasulullah). Di depan pintu rumah Rasulullah Saw. Fathimah mengucapkan salam dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya adalah Fathimah."

Waktu itu Rasulullah Saw. sedang sujud sambil menangis, lantas mengangkat kepala dan bertanya, ”Ada apa wahai Fathimah, Aku sedang menyendiri. Bukakan pintu untuknya." Maka dibukakanlah pintu untuk Fathimah.

Fathimah menangis sejadi-jadinya, karena melihat keadaan Rasulullah yang pucat pasi, tubuhnya tampak sangat lemah, mukanya sembab karena banyak menangis.

Fathimah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang sedang menimpa dirimu wahai ayahku?"  Beliau bersabda, "Wahai Fathimah, Jibril datang kepadaku dan melukiskan keadaan neraka. Dia memberitahu kepadaku bahwa pada pintu yang teratas diperuntukkan bagi umatku yang mengerjakan dosa besar. Itulah yang menyebabkan aku menangis dan sangat sedih."

Fatimah bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana mereka masuk ke neraka itu?" Beliau bersabda, "Mereka digiring ke neraka oleh malaikat. Wajah mereka tidak hitam, mata mereka tidak biru, mulut mereka tidak disumbat, dan mereka tidak dibelenggu ataupun dirantai."

Fatimah bertanya," Wahai Rasulullah, bagaimana sewaktu mereka digiring ke eraka oleh malaikat?"  Beliau bersabda, "Laki-laki ditarik jenggotnya, sedangkan perempuan dengan ditarik rambut ubun-ubunnya. Banyak di antara umatku yang masih muda, ketika ditarik jenggotnya untuk digiring ke neraka berkata, ”Betapa sayang kemudaan dan ketampananku.

”Banyak di antara umatku yang perempuan ketika ditarik ke neraka berkata, ”Sungguh aku sangat malu.” Ketika malaikat yang menarik umatku itu sampai ke neraka dan bertemu dengan Malik, Malik bertanya kepada malaikat yang menarik umatku itu, ”Siapakah mereka itu? Aku tidak pernah melihat orang-orang yang tersiksa seperti mereka. Wajah mereka tidak hitam, mata mereka tidak biru, mulut mereka tidak disumbat, mereka tidak dibarengkan dengan golongan setan, dan mereka tidak dibelenggu atau diikat lehernya?”

Malaikat itu menjawab, "Kami diperintahkan untuk membawa mereka kepadamu dalam keadaan seperti itu.” Malik berkata kepada mereka, ”Wahai orang-orang yang celaka, siapakah sebenarnya kalian ini?” (Dalam hadis yang lain disebutkan, bahwa ketika mereka ditarik oleh malaikat, mereka selalu menyebut-nyebut nama Muhammad. Ketika mereka melihat Malik, mereka lupa untuk menyebut nama Muhammad Saw. karena seramnya Malaikat Malik).

Mereka menjawab, ”Kami adalah umat yang diturunkan Al-Quran kepada kami dan termasuk orang yang mengerjakan puasa pada bulan Ramadhan.”  Malik berkata, "Al-Quran hanya diturunkan untuk umat Muhammad Saw .”

Ketika mendengar nama Muhammad, mereka berteriak seraya berkata, 'Kami termasuk umat Muhammad Saw” .  Malik berkata kepada mereka, ”Bukankah di dalam Al-Quran ada larangan untuk mengerjakan maksiat-maksiat kepada Allah Ta'ala?”

Ketika mereka berada di tepi neraka dan diserahkan kepada Malaikat Zabaniyah, mereka berkata ”Wahal Malik, izinkanlah kami untuk menangisi nasib kami.”
Malik mengizinkannya, dan mereka lantas menangis dengan mengeluarkan darah.

Malik lantas berkata, ”Alangkah baiknya, seandainya tangis ini kamu lakukan sewaktu berada di dunia. Seandainya sewaktu di dunia kamu menangis seperti ini karena takut kepada siksaan Allah, niscaya sekarang ini kamu tidak akan masuk neraka.”

Malik lalu berkata kepada Zabaniyah, ”Lemparkan, lemparkan mereka ke dalam neraka.” Ketika mereka dilempar ke dalam neraka, mereka berseru secara serempak mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallah...., sehingga api neraka langsung menjadi padam.

Kemudian Malik berkata, ”Wahai api, sambarlah mereka!” Api itu menjawab, ”Bagaimana aku menyambar mereka sementara mereka mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah. Malik berkata lagi kepada api neraka, ”Sambarlah mereka”.

Api itu menjawab, ”Bagaimana aku menyambar mereka, sementara mereka mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallah.” Malik berkata, ”Benar, namun begitulah perintah Allah Arasy”.  Kemudian api itu pun menyambar mereka. Di antara mereka ada yang disambar sampai dua telapak kakinya, ada yang disambar sampai dua lututnya, dan ada yang disambar sampai lehemya.

Ketika api itu akan menyambar muka, Malik berkata,  ”Jangan membakar muka mereka, karena dalam waktu yang cukup lama mereka bersujud Kepada Dzat Yang Maha Kuasa.

Dalam Al-Qur'an, Allah telah mensifati neraka Jahannam sebagai berikut :"Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi gunung".(QS. Al-Mursilat : 32) "Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semuanya.
(QS. Al-Hijr : 43)

Dari Hadits Qudsi: Bagaimana kamu masih bisa melakukan maksiat sedangkan kamu tak dapat bertahan dengan panasnya terik matahari-Ku. Tahukah kamu bahwa neraka jahanam-Ku itu mempunyai 7 tingkat. Setiap tingkat mempunyai 70,000 daerah. Setiap daerah mempunyai 70,000 kampung  Setiap kampung mempunyai 70,000 rumah  Setiap rumah mempunyai 70,000 bilik. Setiap bilik mempunyai 70,000 kotak  Setiap kotak mempunyai 70,000 batang pokok zarqum  Di bawah setiap pokok zarqum mempunyai 70,000 ekor ular. Di dalam mulut setiap ular yang panjang 70 hasta mengandung lautan racun yang hitam pekat.  Juga di bawah setiap pokok zarqum mempunyai 70,000 rantai Setiap rantai diseret oleh 70,000 malaikat.

Rabu, 13 Januari 2016

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia ditakdirkan untuk hidup bersosial, yaitu selalu hidup dalam keadaan saling membutuhkan. Islam sangat memperhatikan hal ini dalam banyak pembahasan fiqih tentang tatacara bermuamalah salah satunya adalah pembahasan tentang akhlak manusia dengan sesamanya.


Di dalam pembahasan tentang akhlak tersebut, penulis ingin membahas salah satu kajian akhlak yang berhubungan dengan muamalah seorang manusia dengan yang lainnya, yaitu silaturahmi. Karena tanpa kita sadari, sesungguhnya silaturahmi sangat penting dalam kehidupan bersosial. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang membahas tentang hal ini. Oleh sebab itu penulis ingin mencoba memandang kajian tersebut dari sudut pandang al-Quran dan Hadits, yang mana keduanya adalah sumber hukum yang paling utama bagi seluruh umat muslim. Mudah-mudahan dengan adanya makalah yang sederhana ini, dapat memberikan pencerahan dan pegangan dalam kehidupan bermuamalah.


Selain Ibadah yang Wajib banyak lagi ibadah mendapat penilaian yang baik dari Allah salah satunya dalam Islam menyuruh umatnya memperbanyak silaturrahmi dengan siapapun dan dimanapun. Sebab dalam kehidupan keseharian, setiap individu selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat mulia, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Karena itu merupakan ibadah  yang paling indah berhubungan dengan manusia, sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Silaturahim termasuk akhlak yang mulia.
SILATURAHMI DALAM AL-QURAN DAN HADITS
A. Pengertian Silaturahmi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 1065) silaturahim atau silaturahmi bermakna tali persahabatan atau persaudaraan. Dalam perspektif bahasa Arab, Ahmad Warson dan Muhammad Fairuz (2007 : 810) mengungkap bahwa silaturahmi itu sebagai terjemahan Indonesia dari bahasa Arab
صلة الرحم . Dilihat dari aspek tarkib, lafadz صلة الرحم merupakan tarkib idhofi, yaitu tarkib (susunan) yang terdiri dari mudhof (صلة) dan mudhof ilaih (الرحم). Untuk memahami makna silaturahmi, maka kami terlebih dahulu akan menjelaskan tentang makna صلة dan الرحم , kemudian makna silaturahmi.
1. Makna Shillah
Lafadz
صلة merupakan mashdar dari وصل , Ahmad Warson (2002 : 1562-1563) mengartikan bahwa صلة adalah perhubungan, hubungan, pemberian dan karunia.
2. Makna Rahim
Ahmad Warson (2002 : 483) mengartikan,
رحم adalah rahim, peranakan dan kerabat. Al-Raghib (2008 : 215 ) mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib (2008 : 216) juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”. Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati).
3. Makna Silaturahmi
Berdasarkan dua pengertian dua diatas, maka makna silaturahmi secara harfiah adalah menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”. Sementara itu imam as-Shon’ani (1992 : 4 : 295) mendefinisikan bahwa silaturahmi adalah kiasan tentang berbuat baik kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab dan kerabat bersikap lembut, menyayangi dan memperhatikan kondisi mereka.
B. Pembagian Silaturahmi
As-Shon’ani (1992 : 4 : 298) mengutip pendapat imam al-Qurthubi yang menjelaskan bahwa silaturahmi yang mesti disambungkan itu terbagi kepada dua bagian, yaitu silaturahmi umum dan silaturahmi khusus. Silaturahmi umum yaitu rahim dalam agama, wajib disambungkan dengan cara saling menaSehati, berlaku adil, menunaikan hak-hak yang wajib dan yang sunnah. Sedangkan sulaturahmi khusus yaitu dengan cara memberi nafakah kepada kerabat.
C. Silaturahmi dalam pandangan Al-Quran
Sejauh pengamatan penulis terhadap ayat-ayat al-Quran, penulis tidak menemukan satu ayat pun yang memerintahkan silaturahmi dengan bentuk fi’il amr dari lafadz وصل yang kami temukan bukab fi’il amr, melainkan bentuk fi’il madhi yang terdapat dalam surat al-Qoshos ayat 51 dan fi’il mudhore yang diulang sepuluh kali pada enam surat (Abdul Baqi, tt : 919). Meskipun demikian, bukan berarti al-Quran tidak memerintahkan silaturahmi, tetapi silaturahmi dalam al-Quran digunakan dengan lafadz yang lain.
Bila kita mencermati kembali makna rahim, kita temukan bahwa makna rahim itu adalah kerabat, sebagaimana diungkap oleh ar-Roghib dan Ahmad Warson. Di dalam al-Quran dijumpai beberapa ayat yang memerintahkan untuk memberikan hak kepada kerabat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa silaturahmi diperintahkan dalam al-Quran walaupun menggunakan redaksi lain. Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut :
a. Surat an-Nahl ayat 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku ‘adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Pada ayat tersebut terdapat perintah memberi bantuan kepada kerabat dekat, terkait dengan makna tersebut, Ats-tsa’labi (tt: 2: 321), As-Sulami (2001: 1:372), ‘izz bin Abdussalam (1996: 1: 577), Fahrurrozi (tt: 1: 2747), dan Ahmad bin Muhammad bin Mahdi (2002: 24:73) mereka menafsirkan bahwa ungkapan tersebut bermakna perintah untuk silaturahmi.
b. Surat al-Isro ayat 26
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Pada ayat ini terdapat perintah Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, menurut Baidhowi (tt: 1: 441), Al-Khozin (1979: 4: 157) bahwa makna kerabat tersebut adalah perintah untuk menyambungkan silaturahmi.
c. Surat ar-Rum ayat 38
فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
As-Sam’ani (1997: 4: 215)mencatat bahwa perintah memberikan haq kepada kerabat dekat itu menurut mayoritas mufassir maknanya adalah silaturahmi dengan memberikan hadiah.
Berdasarkan tiga ayat diatas beserta penafsiran para mufasir jelaslah bahwa silaturahmi diperintahkan didalam Quran.
D. Silaturahmi dalam pandangan Hadits
Hadis-hadis yang berkaitan dengan silaturahmi, diantaranya adalah:
1. Orang yang bersilaturahmi akan diperluas rizkinya, dipanjangkan umurnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ أََحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Hurairoh r.a: Rosul bersabda barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya, dan di panjangkan umurnya, hendaklah dia menyambungkan silaturahmi (H.R. Bukhori)
Dalam hadits lain, yang di takhrij oleh Ahmad dari Aisyah secara marfu’ Nabi pernah bersabda bahwa silaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga akan dapat memakmurkan rumah serta menambah umur. Terkait dengan hadis tersebut, Ibnu Hajar (tt: 10: 416) dan As-Son’ani mencamtumkan pendapat Ibnu Tiin yang menyatakan bahwa dzohir hadis tersebut bertentangan dengan surat Al-A’rof ayat 34 yaitu
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ (34)
tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
Selanjutnya Ibnu Tiin mengkompromikan dua dalil tersebut dari dua aspek, salah satunya yaitu yang dimaksud tambahan umur pada hadis tersebut merupakan kinayah tentang keberkahan umur sebab adanya taufik untuk taat serta makmurnya waktu digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat untuk akhirat serta memeliharanya dari melakukan perbuatan yang sia-sia.
2. Pemutus silaturahmi tidak akan masul surga.
وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Jubair bin Mut’im r.a: Rosul bersabda tidak akan masuk surga orang yang memutus, yaitu: memutuskan silaturahmi (mutafaq ‘alaihi)
3. Pemutus silaturahmi akan dipercepat siksaan terhadap dosanya.
وأخرج أبو داود من حديث أبي بكرة يرفعه ما من ذنب أجدر أن يعجل الله لصاحبه العقوبة في الدنيا مع ما ادخر له في الآخرة من قطيعة الرحم
Abu Daud mentakhrij dari hadis Abu Bakroh yang marfu’ tidak ada satu dosa yang lebih pantas dipercepat oleh Allah siksaan bagi pelakunya didunia disamping disediakan baginya siksaan di akhirat dari melainkan pemutus silaturahmi
4. Amal pemutus silaturahmi tidak diterima oleh Allah.
وأخرج البخاري في الأدب المفرد من حديث أبي هريرة يرفعه إن أعمال أمتي تعرض عشية الخميس ليلة الجمعة فلا يقبل عمل قاطع رحم
Bukhori mentakhrij dalam Adabul Mufrod dari hadis Abu Hurairoh yang marfu’ sesungguhnya amal-amal umatku akan disetorkan pada waktu kamis sore malam jumat maka tidak akan diterima amalan pemutus silaturahmi
5. Rahmat tidak akan turun bagi pemutus silaturahmi.
وأخرج فيه من حديث ابن أبي أوفى إن الرحمة لا تنزل على قوم فيهم قاطع رحم
Bukhori mentakhrij dalam Adabul Mufrod dari hadis Abu Aufa sesungguhnya rahmat tidak akan turun kepada suatu kaum yang didalamnya ada pemutus silaturahmi
6. Pintu langit akan tertutup bagi pemutus silaturahmi.
وأخرج الطبراني من حديث ابن مسعود إن أبواب السماء مغلقة دون قاطع الرحم
Thobroni mentakhrij dari hadis ibnu mas’ud sesungguhnya pintu-pintu langit tertutup bagi pemutus silaturahmi


Dianjurkan dan oleh Islam juga diseru. Peringatan yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk tidak memutuskan tali silaturrahmi. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang mulia. Allah Ta’ala memperingatkan orang yang memutuskannya dengan laknat dan adzab, diantara firmanNya:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS Muhammad :22-23).
Demikian banyak dan mudahnya alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia? Karena dapat menyempurnakan rasa cinta & interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil & tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.

MANFAAT SILATURAHMI DALAM ISLAM
Silaturahmi artinya tali persahabatan atau tali persaudaraan, sedangkan bersilaturahmi yaitu mengikat tali persahabatan. Jadi, untuk mengikat tali persahabatan itu kapan saja waktunya, dan tidak boleh diputuskan, harus dilanjutkan oleh anak dan keturunannya.
Kita pun sebagai umat Islam telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menjaga hubungan silaturahmi (Q.S. An-Nisaa: 1). Sebagai umat Islam, perintah Allah Shubhanallaahu wa Ta'la itu harus dipatuhi. Orang yang mematuhi perintah Allah Shubhanallaahu wa Ta'la itu adalah orang yang bertakwa. Takwa artinya terpeliharanya sifat diri untuk tetap taat dan patuh melaksanakan perintah Allah Shubhanallaahu wa Ta'la serta menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Kini dapat kita mengerti, betapa pentingnya silaturahmi dalam Islam. Maka melihat pentingnya silaturahmi tersebut, berikut merupakan 10 manfaat Silaturahmi menurut Abu Laits Samarqandi, yaitu:
1. Mendapatkan ridho dari Allah Shubhanallaahu wa Ta'la.
2. Membuat orang yang kita dikunjungi berbahagia. Hal ini amat sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yaitu "Amal yang paling utama adalah membuat seseorang berbahagia."
3. Menyenangkan malaikat, karena malaikat juga sangat senang bersilaturahmi.
4. Disenangi oleh manusia.
5. Membuat iblis dan setan marah.
6. Memanjangkan usia.
7. Menambah banyak dan berkah rejekinya.
8. Membuat senang orang yang telah wafat. Sebenarnya mereka itu tahu keadaan kita yang masih hidup, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka merasa bahagia jika keluarga yang ditinggalkannya tetap menjalin hubungan baik.
9. Memupuk rasa cinta kasih terhadap sesama, meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan, mempererat dan memperkuat tali persaudaraan dan persahabatan.
10. Menambah pahala setelah kematiannya, karena kebaikannya (dalam hal ini, suka bersilaturahmi) akan selalu dikenang sehingga membuat orang lain selalu mendoakannya.
Demikianlah 10 manfaat dari suka bersilaturahmi,,,
A. Kesimpulan
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan hubungan antar sesama manusia. Hal itu digambarkan dengan adanya berbagai syariat tentang hubungan manusia baik yang menyangkut hubungan keluarga maupun masyarakat. Untuk mempererat hubungan antar keluarga, Islam mensyariatkan silaturahmi. Dalam pandangan al-Quran dan hadis, silaturahmi memiliki kedudukan yang sangat penting. Al-Quran menggambarkan bahwa silaturahmi merupakan salahsatu bentuk pelaksanaan ibadah seorang hamba kepada Rabb-nya. Dan hadis melukiskan bahwa orang yang senantiasa silaturahmi akan dipanjangkan umurnya serta diperluas rizkinya.
Selain itu banyak keterangan yang menjelaskan bahwa orang yang memutuskan hubungan silaturahmi tidak akan masuk surga, amalny tidak akan diterima, serta masih banyak ancaman yang lainnya. Oleh karena itu, sebagai muslim kita harus senantiasa memelihara selaturahmi demi keselamatan dunia akhirat.
B. Saran
Setelah kita memahami silaturahmi, baik dari segi pengertian, pembagian, serta keterangan Al-Quran dan Hadis mudah-mudahan kita bisa mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan juga bisa menyebarluaskannya kepada segenap umat Islam di bumi Allah.


Semoga kita termasuk kedalam orang-orang yang suka bersilaturahmi....aamiin